HADIS TENTANG PENGHIJAUAN
Makalah
Diajukan untuk didiskusikan di kelas Semester VI
pada Mata Kuliah “Hadis Kesehatan dan Lingkungan”
Oleh
Besse
Sahidawati
30700110006
Dosen Pembimbing:
Drs. A. Ali Amiruddin, MA
Jurusan Tafsir Hadis Program Khusus
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alam
semesta merupakan karunia yang paling besar terhadap manusia. Untuk itu, Allah
SWT menyuruh manusia untuk memanfaatkannya dengan baik dan terus bersyukur
kepadaNya. Akan tetapi
pada kenyataan lain, malahan terjadi kerusakan dimana-mana akibat
perbuatan orang-orang serakah.
Rasulullah
SAW menyuruh untuk menanam kembali apa yang rusak dari hutan yang telah ditebang dan dirusak. Rasulullah
sendiri memuji perbuatan ini dengan salah satu perbuatan terpuji.
Di
dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa alam ini akan rusak disebabkan oleh
tangan-tangan orang-orang yang serakah. Mereka sangat ingin mengeksploitasi kekayaan
alam dan mereka tidak memperdulikan akibat yang akan terjadi. Sekarang sudah banyak kerusakan di darat, di
laut dan di udara sehingga mengakibatkan bencana terjadi dimana-mana seperti
banjir, gempa, gunung meletus, angin puting beliung dan banyak lagi yang sangat
mengkhawatirkan yaitu terjadinya pemanasan global.
Sekarang
hutan banyak yang rusak karena banyaknya penebang liar dan tidak adanya lagi
penghijauan kembali. Dalam hal ini, Rasulullah SAW sangat tidak menyukai,
malahan Rasulullah SAW melarang dengan
hadisnya yang diriwayaatkan oleh beberapa sahabatnya. Untuk itu penulis akan
mencoba memaparkan hadis-hadisnya.
B.
Rumusan Masalah
Setelah
melihat dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
a)
Apa saja Hadis-hadis tentang
penghijauan?
b)
Bagaimana penjelasan tentang
hadis-hadis penghijauan?
c)
Faidah dari hadis-hadis tentang
penghijauan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis tentang penghijauan
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا
أبو عوانة ( ح ) وحدثني عبد الرحمن بن المبارك حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن أنس
رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع
زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به
صدقة ) رواه البخارى.[1]
Artinya:
“Telah
diceritakan kepada kami Qutaibah bin Said, telah menceritakan kepada kami Abi
‘Awanah dan telah diceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Mubarak, telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas radiyallahu anhu
berkata: Rasulullah SAW berkata: “ tiadalah seorang muslim menanam pohon atau
menanam tetumbuhan kemudian burung, manusia dan hewan ternak memakan
buah-buahan dari pohon yang ia tanam kecuali hal tersebut terhitung sedekah
baginya.” (H.R.
al-Bukhari)
حدثنا يحيى بن يحيى وقتيبة
بن سعيد ومحمد بن عبيد الغبري ( واللفظ ليحيى ) ( قال يحيى أخبرنا وقال الآخران
حدثنا أبو عوانة ) عن قتادة عن أنس قال :
قال رسول الله صلى الله عليه و
سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع
زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به
صدقة ) رواه المسلم.[2]
Artinya:
“telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Said dan
Muhammad bin ‘Ubaidi al-Gubari, dari
Qatadah dari Anas bin Malik
Radhiayallahu Anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiadalah seorang
muslim menanam pohon atau menanam tetumbuhan kemudian burung, manusia dan hewan
ternak memakan buah-buahan dari pohon yang ia tanam kecuali hal itu terhitung
sedekah baginya.”(H.R. Muslim).
Tinjauan bahasa
يعرس= يزرع : menanam, tetapi kata يزرع biasanya
diterjemahkan menanam benih
بهيمة :
binatang ternak
طير :
burung
B.
Penjelasan hadis
Hadis diatas mengandung anjuran agar
semua manusia, khususnya umat Islam menanam tanaman yang berguna, baik berguna bagi
manusia maupun hewan. Apabila tanaman tersebut telah berbuah dan dimakan oleh
manusia ataupun hewan, maka ia akan mendapat pahala sedekah dari setiap buah
yang dimakan, sekalipun buah tersebut hasil curian.
Hal itu juga menggambarkan betapa
Islam sangat menghargai usaha manusia untuk memakmurkan dan memanfaatkan tanah,
karena tanaman yang ditanam pasti akan bermanfaat bagi manusia maupun bagi
makhluk-makhluk Allah lainnya. Maka
setiap orang hendaknya tidak egois, yakni menanam tanaman untuk dinikmatinya
sendiri. Jika cara berpikirnya seperti itu, orang yang sudah tua dipastikan
tidak akan mau menanam tanaman karena ia merasa tidak akan mungkin memakan hasil
tanamannya. Seyogianya ia berpikir bahwa manfaat dari sebuah tanaman tidak
hanya buahnya tetapi pahala yang akan diterimanya apabila buah dari tanaman
tersebut dimakan oleh manusia dan hewan.
Perbuatan seperti itu akan membawa
kemaslahatan, baik untuk tanahnya sendiri, orang lain dan hewan apalagi jika
tanaman tersebut merupakan tanaman yang buahnya sangat disukai oleh manusia dan
hewan.
Hadis diatas juga mengandung anjuran
untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT. dengan menanam pohon berarti
ia telah memberikan tempat kepada binatang untuk hinggap atau tempat
bertengger, mendapatkan sumber makanan ketika pohon tersebut berbuah dan
menjadikan pohon tersebut sebagai tempat tinggal.[3]
Dekade terakhir ini, pemerintah
Indonesia telah melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana
kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik dari media visual
maupun audio visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan dan tertempel
di mobil-mobil yang mengajak kita untuk menyukseskan program tersebut. Sebagian
orang menyangka bahwa program
penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah SWT
sehingga ada di antara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program
tersebut. Mungkin kita harus merujuk pada suatu hadis Nabi yang masyhur yang
berbunyi:
حدثنا الربيع بن سليمان المؤذن قال ثنا ابن وهب عن سليمان
يعني ابن بلال عن العلاء بن عبد الرحمن أراه عن أبيه عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال "
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة أشياء منن صدقة
جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له(.رواه ابى داود)[4]
Artinya:
“Telah
menceritakan kepaada kami Rabi’ bin Sulaiman berkata telah menceritakan kepada
kami Wahab bin Sulaiman dari al-A’lla bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang manusia meninggal
dunia, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara: sedekah
jariah(yang mengalir pahalanya, ilmu yang bermanfat, dan doa anak shaleh yang mendoakan orang
tuanya. (H.R. Muslim)
Dari hadis diatas mengatakan satu
diantara perkara yang tidak akan putus amalannya bagi seorang manusia, walaupun
ia telah meninggal dunia adalah sedekah jariyah, sedekah yang terus mengalir
pahalanya bagi seseorang. Para ahli ilmu menyatakan sedekah jariyah memiliki
banyak macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid,
membuat jalan atau jembatan, menanam pohon baik berupa pohon, biji-bijian dan
tanaman pangan dan lain sebagainya. Jadi menghijaukan lingkungan dengan menanam
merupakan sedekah dan amal jariyah-walau telah meninggal- selama tanaman itu
tumbuh dan berketurunan.
Al-Imam Ibnu Bathol mengatakan ini
menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa di
dalamnya terdapat pahala. Seorang muslim yang menanam pohon tidak akan pernah
rugi disisi Allah SWT, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh
manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah ditanam
lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal maupun jalan yang
haram maka sebagai penanam tetap mendapatkan pahala sebab tanaman yang diambil
tersebut berubah menjadi sedekah.[5]
Penghijauan merupakan amalan sholeh
yang mengandung banyak manfaat dan kemaslahatan bagi manusia. Tanaman dan Pohon
yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu
bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan, buah dan daunnya terkadang bisa
dimakan, batangnya bisa dibuat berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah
terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menjadi penyejuk bagi orang yang
memandangnya, membantu sanitasi lingkungan dalam membantu mengurangi polusi
udara dan lain sebagainya maka tidak heran jika Islam memerintahkan umatnya
untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ ، حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ
يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ. (رواه احمد).[6]
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Bahjun, telah menceritakan
kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Zaid berkata saya
mendengar Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda: jika hari kiamat
telah tegak, sedang ditangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon
kurma, jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah”.
(H.R. Ahmad)
Nabi shaallalahu alaihi wasaallam tidak
mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting
dan sempit seperti itu, kecuali perkara itu amat penting dan besar manfaatnya
bagi seorang manusia.
Syeh Ahmad
Nashiruddin al-Albani berkata, tidak ada sesuatu (yakni dalil) yang paling kuat
yang menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana hadis-hadis yang lain,
terlebih lagi hadis di atas karena berisi tarhib(dorongan) besar untuk
menggunakan kesempatan terakhir dalam kehidupan seseorang dalam rangka menanam
sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah si penanam meninggal dunia. Maka
pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari
kiamat.[7]
C.
Faedah hadis
1)
Hadis ini memberikan motivasi bagi
seorang muslim untuk menanam pohon atau sebuah amalan yang pahalanya tidak akan
terputus meskipun sang penanam pohon telah meninggal, selama pohon yang ia
tanam masih ada dan bermanfaat.
2)
Hadis ini memberikan motivasi kepada
muslim untuk menanam pepohonan yang menghasilkan buah-buahan yang bisa
dimanfaatkan oleh makhluk.
3)
Diantara bentuk berbakti kepada
orang tua yang telah meninggal dunia adalah dengan memelihara dan merawat
pepohonan yang dahulu ditanam oleh orang tua sebelum meninggal. Karena dengan
menjaga dan merawat pohon yang ditanami orang tua maka pohon tersebut akan
tetap hidup dan bermanfaat bagi makhluk
sehingga orang tua yang telah meninggal tetap mendapatkan pahala dengan sebab
pohon yang ia tanam.
4)
Islam mengajarkan untuk senantiasa
berbuat baik kepada seluruh makhluk
Allah, baik sesama manusia, tumbuhan, hewan bahkan orang kafir
sekalipun.
5)
Seorang muslim tetap mendapatkan
pahala dengan sebab pohon yang ia tanam kemudian menghasilkan buah-buahan
kemudian buah tersebut dimakan oleh manusia dan hewan, meskipun orang yang
memakannya mendapatkan buah-buahan tersebut dengan cara mencuri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam
merupakan agama yang sangat luhur. Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk menanam tanaman dimana hal itu menjadi sebab
kelestarian lingkungan dan terwujudnya lingkungan yang asri. Belum lagi pohon-pohon tersebut menghasilkan
buah-buahan yang dapat dimakan oleh makhluk-makhluk Allah SWT.
Islam
juga mengkategorikan perbuatan menanam sebagai shadaqah yang mana hal tersebut
merupakan suatu perbuatan yang terpuji dan pelakunya diberi pahala serta
ganjaran dari Allah SWT.
B.
Implikasi
Makalah
yang ditulis oleh penulis masih sangat jauh dari kaidah-kaidah penulisan
sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan dari dosen dan mahasiswa
lainnya untuk perbaikan makalah ini kedepannya
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Daud, Sulaiman bin Asy’ats.
Sunan Abu Daud, Juz II, t.tp, Dar al-Fikr, t.th.
Al- Bukhari, Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Juz II, Beirut; Dar Ibnu Katsir, 1407 H/
1998 M.
Al-Albaniy, syeh Muhammad
Nashiruddin. Silsilah al-Shahih, Juz I, (t.d)
Al-Qusyairi, Muslim bin Hajjaj Abu
Husain. Shahih Muslim, Juz III, Beirut; Dar Ihya Turats, t.th.
Bathal, Ibnu. Syarh al- Bukhari
li Ibnu Bathal. Juz II, (t.d).
Hambal, Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad. Musnad Ahmad, Juz III, Beirut; ‘Alim al-Kutub, 1417 M/1998 M.
Syafe’I, Rahmat. Al- Hadis
Aqidah, Sosial, Akhlak, dan hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
[1]. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah bin
Ismail al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, juz II (Beirut; Dar ibnu Katsir,
1407 H/ 1987 M), h. 817.
[2]. Muslim bin Hajjaj Abu Husain al-Qusyairi. Shahih al-Muslim, Juz III (Beirut; Dar
Ihya Turats, t.th),h. 1189.
[3]. Prof. Dr.H. Rachmat Syafe’I, M.A. al-Hadis
Aqidah, Sosial, Akhlak dan Hukum, (Bandung; Pustaka Setia, 2000), h.
270-271
[4].
Sulaiman bin Asy’ats Abu Daud. Sunan Abu Daud, Juz II( t.tp. Dar
al-Fikr, t.th),h. 131.
[6]. Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal.Musnad Ahmad, Juz III(Beirut; ‘Alim al-Kutub, 1419 H/1998 M), h.
191.