CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selamat datang di blog sederhanaku

Ini adalah blog pribadikSemua hal yang termuat di sini adalah tentang isi hatiku.Dan jika ada kesalahan di dalam tulisanku harap dimaklumi,Semoga kalian betah berjelajah di blogku

Minggu, 29 September 2013

hadis Penghijauan


  
HADIS TENTANG PENGHIJAUAN

     



Makalah
Diajukan untuk didiskusikan di kelas Semester VI
pada Mata Kuliah “Hadis Kesehatan dan Lingkungan”

Oleh
Besse Sahidawati
30700110006


Dosen Pembimbing:
Drs. A. Ali Amiruddin, MA



Jurusan Tafsir Hadis Program Khusus
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Alam semesta merupakan karunia yang paling besar terhadap manusia. Untuk itu, Allah SWT menyuruh manusia untuk memanfaatkannya dengan baik dan terus bersyukur kepadaNya.  Akan  tetapi  pada kenyataan lain, malahan terjadi kerusakan dimana-mana akibat perbuatan orang-orang serakah.
Rasulullah SAW menyuruh untuk menanam kembali apa yang rusak dari hutan  yang telah ditebang dan dirusak. Rasulullah sendiri memuji perbuatan ini dengan salah satu perbuatan terpuji.
Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa alam ini akan rusak disebabkan oleh tangan-tangan orang-orang yang serakah. Mereka sangat ingin mengeksploitasi kekayaan alam dan mereka tidak memperdulikan akibat yang akan terjadi.  Sekarang sudah banyak kerusakan di darat, di laut dan di udara sehingga mengakibatkan bencana terjadi dimana-mana seperti banjir, gempa, gunung meletus, angin puting beliung dan banyak lagi yang sangat mengkhawatirkan yaitu terjadinya pemanasan global.
Sekarang hutan banyak yang rusak karena banyaknya penebang liar dan tidak adanya lagi penghijauan kembali. Dalam hal ini, Rasulullah SAW sangat tidak menyukai, malahan  Rasulullah SAW melarang dengan hadisnya yang diriwayaatkan oleh beberapa sahabatnya. Untuk itu penulis akan mencoba memaparkan hadis-hadisnya.
B.     Rumusan Masalah
Setelah melihat dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
a)      Apa saja Hadis-hadis tentang penghijauan?
b)      Bagaimana penjelasan tentang hadis-hadis penghijauan?
c)      Faidah dari hadis-hadis tentang penghijauan? 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis tentang penghijauan
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة ( ح ) وحدثني عبد الرحمن بن المبارك حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة ) رواه البخارى.[1]
Artinya:
“Telah diceritakan kepada kami Qutaibah bin Said, telah menceritakan kepada kami Abi ‘Awanah dan telah diceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Mubarak, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas radiyallahu anhu berkata: Rasulullah SAW berkata: “ tiadalah seorang muslim menanam pohon atau menanam tetumbuhan kemudian burung, manusia dan hewan ternak memakan buah-buahan dari pohon yang ia tanam kecuali hal tersebut terhitung sedekah baginya.” (H.R. al-Bukhari)
حدثنا يحيى بن يحيى وقتيبة بن سعيد ومحمد بن عبيد الغبري ( واللفظ ليحيى ) ( قال يحيى أخبرنا وقال الآخران حدثنا أبو عوانة ) عن قتادة عن أنس قال  : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة ) رواه المسلم.[2]

Artinya:

“telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Said dan Muhammad  bin ‘Ubaidi al-Gubari, dari Qatadah dari Anas bin Malik  Radhiayallahu Anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiadalah seorang muslim menanam pohon atau menanam tetumbuhan kemudian burung, manusia dan hewan ternak memakan buah-buahan dari pohon yang ia tanam kecuali hal itu terhitung sedekah baginya.”(H.R. Muslim).
Tinjauan bahasa
يعرس= يزرع              : menanam, tetapi kata  يزرع biasanya diterjemahkan menanam benih
 بهيمة                       : binatang ternak
طير                             : burung
B.     Penjelasan hadis
            Hadis diatas mengandung anjuran agar semua manusia, khususnya umat Islam menanam tanaman yang berguna, baik berguna bagi manusia maupun hewan. Apabila tanaman tersebut telah berbuah dan dimakan oleh manusia ataupun hewan, maka ia akan mendapat pahala sedekah dari setiap buah yang dimakan, sekalipun buah tersebut  hasil curian.
            Hal itu juga menggambarkan betapa Islam sangat menghargai usaha manusia untuk memakmurkan dan memanfaatkan tanah, karena tanaman yang ditanam pasti akan bermanfaat bagi manusia maupun bagi makhluk-makhluk  Allah lainnya. Maka setiap orang hendaknya tidak egois, yakni menanam tanaman untuk dinikmatinya sendiri. Jika cara berpikirnya seperti itu, orang yang sudah tua dipastikan tidak akan mau menanam tanaman karena ia merasa tidak akan mungkin memakan hasil tanamannya. Seyogianya ia berpikir bahwa manfaat dari sebuah tanaman tidak hanya buahnya tetapi pahala yang akan diterimanya apabila buah dari tanaman tersebut dimakan oleh manusia dan hewan.
            Perbuatan seperti itu akan membawa kemaslahatan, baik untuk tanahnya sendiri, orang lain dan hewan apalagi jika tanaman tersebut merupakan tanaman yang buahnya sangat disukai oleh manusia dan hewan.
            Hadis diatas juga mengandung anjuran untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT. dengan menanam pohon berarti ia telah memberikan tempat kepada binatang untuk hinggap atau tempat bertengger, mendapatkan sumber makanan ketika pohon tersebut berbuah dan menjadikan pohon tersebut sebagai tempat tinggal.[3]
            Dekade terakhir ini, pemerintah Indonesia telah melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik dari media visual maupun audio visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan dan tertempel di mobil-mobil yang mengajak kita untuk menyukseskan program tersebut. Sebagian orang menyangka  bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah SWT sehingga ada di antara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Mungkin kita harus merujuk pada suatu hadis Nabi yang masyhur yang berbunyi:
حدثنا الربيع بن سليمان المؤذن قال ثنا ابن وهب عن سليمان يعني ابن بلال عن العلاء بن عبد الرحمن أراه عن أبيه عن أبي هريرة  : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال " إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة أشياء منن صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له(.رواه ابى داود)[4]
Artinya:                                                                           
Telah menceritakan kepaada kami Rabi’ bin Sulaiman berkata telah menceritakan kepada kami Wahab bin Sulaiman dari al-A’lla bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah(yang mengalir pahalanya, ilmu yang bermanfat,  dan doa anak shaleh yang mendoakan orang tuanya. (H.R. Muslim)
            Dari hadis diatas mengatakan satu diantara perkara yang tidak akan putus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah meninggal dunia adalah sedekah jariyah, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang. Para ahli ilmu menyatakan sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam pohon baik berupa pohon, biji-bijian dan tanaman pangan dan lain sebagainya. Jadi menghijaukan lingkungan dengan menanam merupakan sedekah dan amal jariyah-walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh dan berketurunan.
            Al-Imam Ibnu Bathol mengatakan ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala. Seorang muslim yang menanam pohon tidak akan pernah rugi disisi Allah SWT, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah ditanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal maupun jalan yang haram maka sebagai penanam tetap mendapatkan pahala sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah.[5]
            Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat dan kemaslahatan bagi manusia. Tanaman dan Pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menjadi penyejuk bagi orang yang memandangnya, membantu sanitasi lingkungan dalam membantu mengurangi polusi udara dan lain sebagainya maka tidak heran jika Islam memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana  Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ. (رواه احمد).[6]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Bahjun, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Zaid berkata saya mendengar Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda: jika hari kiamat telah tegak, sedang ditangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon kurma, jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah”. (H.R. Ahmad)
             Nabi shaallalahu alaihi wasaallam tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting dan sempit seperti itu, kecuali perkara itu amat penting dan besar manfaatnya bagi seorang manusia.
            Syeh Ahmad Nashiruddin al-Albani berkata, tidak ada sesuatu (yakni dalil) yang paling kuat yang menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana hadis-hadis yang lain, terlebih lagi hadis di atas karena berisi tarhib(dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dalam kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah si penanam meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat.[7]
C.    Faedah hadis
1)      Hadis ini memberikan motivasi bagi seorang muslim untuk menanam pohon atau sebuah amalan yang pahalanya tidak akan terputus meskipun sang penanam pohon telah meninggal, selama pohon yang ia tanam masih ada dan bermanfaat.
2)      Hadis ini memberikan motivasi kepada muslim untuk menanam pepohonan yang menghasilkan buah-buahan yang bisa dimanfaatkan oleh makhluk.
3)      Diantara bentuk berbakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia adalah dengan memelihara dan merawat pepohonan yang dahulu ditanam oleh orang tua sebelum meninggal. Karena dengan menjaga dan merawat pohon yang ditanami orang tua maka pohon tersebut akan tetap hidup dan bermanfaat  bagi makhluk sehingga orang tua yang telah meninggal tetap mendapatkan pahala dengan sebab pohon yang ia tanam.
4)      Islam mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik kepada seluruh makhluk  Allah, baik sesama manusia, tumbuhan, hewan bahkan orang kafir sekalipun.
5)      Seorang muslim tetap mendapatkan pahala dengan sebab pohon yang ia tanam kemudian menghasilkan buah-buahan kemudian buah tersebut dimakan oleh manusia dan hewan, meskipun orang yang memakannya mendapatkan buah-buahan tersebut dengan cara mencuri.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sangat luhur.  Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menanam tanaman dimana hal itu menjadi sebab kelestarian lingkungan dan terwujudnya lingkungan yang asri.  Belum lagi pohon-pohon tersebut menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan oleh makhluk-makhluk Allah SWT.
Islam juga mengkategorikan perbuatan menanam sebagai shadaqah yang mana hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang terpuji dan pelakunya diberi pahala serta ganjaran dari Allah SWT.
B.     Implikasi
Makalah yang ditulis oleh penulis masih sangat jauh dari kaidah-kaidah penulisan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan dari dosen dan mahasiswa lainnya untuk perbaikan makalah ini kedepannya

DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, Sulaiman bin Asy’ats. Sunan Abu Daud, Juz II, t.tp, Dar al-Fikr, t.th.
Al- Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Juz II, Beirut; Dar Ibnu Katsir, 1407 H/ 1998 M.
Al-Albaniy, syeh Muhammad Nashiruddin. Silsilah al-Shahih, Juz I, (t.d)
Al-Qusyairi, Muslim bin Hajjaj Abu Husain. Shahih Muslim, Juz III, Beirut; Dar Ihya Turats, t.th.
Bathal, Ibnu. Syarh al- Bukhari li Ibnu Bathal. Juz II, (t.d).
Hambal, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad. Musnad Ahmad, Juz III, Beirut; ‘Alim al-Kutub, 1417 M/1998 M.
Syafe’I, Rahmat. Al- Hadis Aqidah, Sosial, Akhlak, dan hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2000.


[1]. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah bin Ismail al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, juz II (Beirut; Dar ibnu Katsir, 1407 H/ 1987 M), h. 817.
[2]. Muslim bin Hajjaj Abu Husain al-Qusyairi.  Shahih al-Muslim, Juz III (Beirut; Dar Ihya Turats, t.th),h. 1189.
[3]. Prof. Dr.H. Rachmat Syafe’I, M.A. al-Hadis Aqidah, Sosial, Akhlak dan Hukum, (Bandung; Pustaka Setia, 2000), h. 270-271
[4].  Sulaiman bin Asy’ats Abu Daud. Sunan Abu Daud, Juz II( t.tp. Dar al-Fikr, t.th),h. 131.

[5]. Ibnu Bathol. Syrah al-Bukhari li Ibnu Bathol, Juz 11(t.d),h. 473
[6]. Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal.Musnad Ahmad, Juz III(Beirut; ‘Alim al-Kutub, 1419 H/1998 M), h. 191.
[7]. Syeh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy. Silsilah ash-Shahihah, Juz I( t.d),h. 8 

Khawarij dan Sikapnya Terhadap al-Sunnah

Khawarij dan Sikapnya Terhadap
al-Sunnah

Revisi Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Semester V
pada Mata Kuliah Difa’ An al-Sunnah
Oleh:

BESSE SAHIDAWATI
30700110006

Dosen Pembimbing:
Abdul Gaffar, M.Th.I

Jurusan Tafsi>r H{adi>ts prodi Ilmu H}adi>s
Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Islam di masa Nabī Muammad masih hidup sangatlah damai dan tenang. Setiap permasalahan yang muncul di dalam tubuh kaum Muslim, maka dengan cepat para sahabat menanyakannya langsung pada Nabī Muammad, sehingga dengan cepat pula mendapatkan keputusan yang benar tanpa ada suatu rekayasa apapun sebab telah disandarkan melalui wahyu, ijtihad dan permusyawaratan dengan para sahabat. Namun setelah Nabī Muammad wafat, gejolak perselisihan mulai terlihat jelas. Problematika yang dihadapi adalah masalah yang tak pernah timbul di zaman nabi masih hidup dan cara penyelesaian masalahnya tidak dijumpai dalam al-Qur’ān dan hadits. Sehingga persoalan-persoalan tersebut tidak memiliki jawaban yang pas dari masing-masing ummat. Dari tiap pandangan ummat memiliki jawaban sendiri-sendiri dan dari situlah muncul perbedaan-perbedaan yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan diantara ummat Islam. Sehingga Benar saja apa yang telah dikatakan Nabī tentang akan adanya perpecahan diantara ummat Islam. Diriwayatkan bahwa dari Abdullāh bin Amr berbunyi: “Kelak umatku akan mengalami apa yang pernah dialami Bani Israil. Bani Israil terpecah belah menjadi 72 millah (aliran), sedan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 millah, satu millah lebih banyak (dari Bani Israil). Semuanya masuk neraka, kecuali satu.” Para Sahabat bertanya, “Ya Rasūlullāh, siapakah millah yang satu itu?” Nabī (saw) menjawab,”Aliran yang mengikuti aku dan para sahabatku.”[1]
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan munculnya perpecahan, antara lain, sebagaimana yang ditegaskan oleh Muammad Abū Zahrah, adalah fanatisme Kearaban (al-‘ashabiyyah al-‘arabiyyah). Sejak masa Nabī, fanatisme telah berhasil diredam melalui keterangan-keterangan yang jelas tersebut hingga masa Khalifah Ketiga, ‘Us}man bin Affan.[2]
Dari Islam yang terbagi-bagi dalam beberapa sekte/firqoh/golongan tersebut, sangat menarik untuk dibahas. Dari segi latar belakang sejarahnya maupun pokok-pokok ajarannya hingga sampai pada respon-respon yang menyatakan penerimaan maupun penolakan pada sekte-sekte tersebut. Dari bermacam-macam golongan dalam Islam, penulis mengambil dari aliran Khawa>rij. Di sini penulis ingin menyampaikan beberapa rincian inti pokok pembahasan yang terpenting, yakni mengenai Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Khawa>rij dan Bagaimana pandangan tentang dosa besar menurut Khawa>rij. Beberapa kajian dari gerakan Khawa>rij secara detail, sangatlah berguna untuk melihat kembali gerakan ini sebagai suatu keseluruhan dan posisinya dalam perkembangan pemikiran Islam.[3]
B.   Rumusan masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan maka penulis memberi rumusan masalah sebagai acuan dasar pembahasan, yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan khawa>rij?
2.      Apa saja Ajaran-Ajaran Pokok Khawa>rij dan Sekte-Sekte dan Ajarannya?
3.      Apa saja sifat-sifat Khawa>rij  yang telah Rasūlullāh saw. Sebutkan dalam adi>ts-adi>ts beliau?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Defenisi al-Khawa>rij (الخوارج) Beserta Asal Usulnya
Secara etimologis khawa>rij berasal dari bahasa arab yaitu kharaja yang bentuk jamaknya dari kata kharij, yaitu isim fa'il dari kata kharaja yang berarti keluar, Muncul, timbul dan memberontak,[4] hal itu disebabkan  karena mereka keluar dari barisan Ali>.[5]
Ditinjau dari sisi terminologis, dalam hal ini para ulama Berbeda pendapat:[6]
1.        Ada yang memasukkan khawa>rij secara umum sebagai satu sikap politik. Siapa yang keluar dari ketaatan  kepada imam yang kepemimpinannya itu dibenarkan menurut syar’i, kapan pun itu terjadi, maka ia termasuk khawa>rij.
Imam Asy-Syahrastaniy memberikan komentar: “Tiap-tiap orang yang keluar dari imam yang haq, yang telah disepakati oleh jama’ah, maka ia dinamakan khawa>rij, baik itu terjadi pada masa sahabat, yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat, atau pada masa tabi’in serta Imam-iman pada setiap masa”
2.        Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 surat An-Nisā’, yang artinya: “Keluar dari rumah lari kepada Allāh dan Rasūl-Nya”. Dengan demikian, kaum Khawa>rij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allāh dan Rasūl-Nya[7]
3.        Ada pula pendapa bahwa yang diamksud khawa>rij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Alī bin Abī Tholib yang keluar dari barisan Alī dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan Alī tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase,[8] dalam perang S{iffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok (pemberontak) Muawwiyah bin Abi> Sufyan tentang persengketaan khilafah.[9]
Kelompok ini dikenal sebagai Māriqin, Khawa>rij dan Nahrawaniyun. Mā-ra-q secara leksikal bermakna keluar (membelok) sebagaimana disebutkan, "Yamruqu al-sahma min al-Ramiyya; artinya anak panah keluar dari busurnya.[10]
Mâriqin adalah orang-orang yang telah keluar dan membelok dari agama Allāh dan memandang boleh berperang dengan khalifah Rasūlullāh Saw.[11] Dengan kata lain, seperti yang dijelaskan diatas bahwa sekelompok pengikut Imam Alī yang berpisah dari beliau pada perang S}iffin lantaran penentangan mereka dengan beliau pada kasus tahkim.[12]  Mereka keluar dari jalan ketaatan kepada Amirulmukminin Alī bin Abī Thalib. Atas dasar ini mereka disebut sebagai Mâriqin.[13]
Kemudian mereka menyebut diri mereka dengan sebutan Syurah, yang berasal dari kata yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam 207 surat Al-Baqarah: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allāh”. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata Harura, satu desa yang terletak di dekat kota Kuffah, di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah duabelas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Alī. Disini mereka memilih Abdullāh bin Abī wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari Alī bin Abī Tholib. Dalam pertempuran dengan Alī, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khawa>rij bernama Abdurrahman bin Muljam dapat membunuh Alī.[14]
Walaupun telah mengalami kekalahan, kaum Khawa>rij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di zaman dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Awalnya, khalifah atau pemerintahan Abū Bakar dan Umār bin Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua khalufah ini diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi Uman bin Affan mereka anggap telah menyeleweng dari mulai tahun ke- 7 dari masa khalifahnya. Dan Alī juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase[15]
sejak waktu itulah Uman dan Alī bagi mereka telah menjadi ka>fir. Demikian halnya dengan Mu’awiyyah, Amr bin As, Abū Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam[16]

B.   Pandangan Khawa>rij terhadap as-Sunnah
Kaum Khawa>rij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) iya itu perang saudara antara Ali bin Abi Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a. H{adi>ts diterima oleh kelompok  khawa>rij dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil. Tetapi setelah itu h}adis-h}adis yang diriwayatkan oleh para sahabat ditolak oleh kelompok Khawa>rij dan mengingkari ‘Alī, ‘Us\man, & Shahabat dan tergolong al-as}ha>bu al-Jamāl, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka menerima keputusannya & membenarkannya ataupun nan mengakui keputusan salah 1 dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal nan diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan menurut anggapan Khawa>rij  termasuk zhalim. Karena itu Khawa>rij  tak menganggap para Sha-habat sebagi rawi tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawa>rij menerima Sunnah Nabī Shallallahu 'alaihi wa sallam & percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawa>rij menolak As-Sunnah nan diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[17]
Tapi menurut Syaikh Abu> Abdirrahman Ali> bin Ali> al-Furaidan Mereka menolak As-Sunnah jika tidak terdapat pendukungnya yang tercantum secara jelas (ekspisit) di dalam al-Qur’a>n. Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah berkata: “Mereka tidak mengambil apapun dari As-Sunnah kecuali apa yang dapat ditafsirkan secara umum, tidak termasuk nash-nash yang bertentangan dengan apa yang secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’a>n, menurut mereka. Sehingga mereka tidak meyakini hukum rajam bagi pezina dan tidak juga meyakini adanya jumlah minimun barang curian sehingga (seseorang) disebut pencuri.” [Majmu al-Fatawa (13/48)][18]
C. Sekte-Sekte dan Ajarannya
Sekte-sekte yang ada di dalam Khawa>rij antara lain:
1.      Kelompok khawa>rij  yang percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allāh kepada Rasūl-Nya
·      Al-Najdat
Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut- pengikut Nafi’ bin Azraq, diantaranya adalah Abū Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka yang tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang- orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.
Abū Fudaik dengan teman-teman serta pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yamamah. Disini mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian paham dengan Nafi’, sehingga Najdah dengan pengikut-pengikutnya membatalkan rencana untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Pengikut Abū Fudaik dan pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebagai imam baru. Nafi’ bin Azraq tidak lagi diakui sebagai imam. Nafi’ telah mereka pandang ka>fir dan demikian pula orang yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi ka>fir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.[19]
Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalu dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Seterusnya ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allāh dan Rasu>l-rasūl-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allāh kepada Rasūl-Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud orang-orang Islam disini adalah pengikut-pengikut Najdah. Dalam hal-hal selain tersebut diatas, orang Islam tidak diwajibkan mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak tahu bahwa hal itu haram, ia dapat dimaafkan.
Dalam kalangan al-Khawa>rij, golongan inilah yang membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan.
Tetapi tidak pula semua pengikut Najdah setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran diatas, terutama paham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya menjadi kāfir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil Najdah terhadap khalifah Abdul Ma>lik bin Marwan dari dinasti bani Umaiyyah. Dala salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka memperoleh harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya, sebagai diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan, harta dan tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut diantara mereka sendiri. selanjutnya dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh Abdul Ma>lik. Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui pengikutnya, karena Abdul Malīk adalah musuh mereka.
Dalam perpecahan ini Abū Fudaik, Rasyid al-Tawil dan anak Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abū Fudaik dan Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan penggal lehernya.[20]
2.      Kelompok khawa>rij  yang paling moderat.
·      Al-Ibadiyah
Namanya golongan diambil dari Abdullāh bin Ibad, yang apada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a.       Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kāfir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.
b.      Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kāfir al-millah, yaitu ka>fir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
c.       Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti di atas membuat Abdullāh bin Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia mempunyai hubungan yang baik dengan khalifah Abdul Mālik bin Marwan. Demikian pula halnya dengan Jabir bin Zaid al-Azdi, pemimpin al-Ibadiyah sesudah Ibnu Ibad, mempunyai hubungan baik dengan al-Hajjaj, pada waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya memerangi golongan-golongan Khawa>rij yang berpaham dan bersikap ekstrim.
Oleh karena itu, jika golongan Khawa>rij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-Ibadiyah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan.[21]
·         Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar serta kuat sesudah al-Muhakkimah hancur adalah golongan al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ bin Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri. Dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mukminin. Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term ka>fir, tetapi term musyrik. Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan al-Azariqah tapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan kata lain, orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang musyrik. Dan barang siapa yang datang ke daerah mereka dan mengakui al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima dengan baik. Tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, memberi keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-Azariqah. Lebih lanjut lagi, bukan hanya orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri orang-orang yang demikianpun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Mereka selalu bertanya pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka dibunuh.[22]
3.      Kelompok khawa>rij  yang ekstrim
·         Al-Sufriyah
Pemimpin golongan ini ialah Ziyad bin Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a.       Orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dipandang kāfir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Selanjutnya, tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dianggap kāfir. Sedangkan golongan yang kedua dianggap kāfir.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah, sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.[23]
                        Di samping pendapat-pendapat diatas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi mereka:
a.       Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.      Tetapi walaupun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh  kawin dengan lelaki kafīr, di daerah bukan Islam.[24]
·         Al-Muhakkimah
Golongan Khawa>rij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Alī. Menurut mereka, Alī, Muawiyyah, kedua pengantara Amr bin Ash dan Abū Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi ka>fir. Selanjutnya hukum kāfir ini mereka luaskan artinya, sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut mereka orang yang berzina telah menjadi kāfir. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar dan menjadi kāfir. Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar yang lainnya.[25]

·         Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karīm bin Ajrad yang menurut al-Syahratsani merupakan salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ bin Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu, harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta yang telah mati terbunuh, sedang menurut al-Azariqah seluruh harta musuh bolehb dijadikan rampasan perang. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut orangtuanya.
Selanjutnya kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’ān membawa cerita cinta dan al-Qur’ān sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’ān.[26]
Sebagai golongan Khawa>rij lain, golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi golongan- golongan kecil. Diantara mereka, yaitub golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariyah. Bagi mereka, semua perbuatan manusia baik dan buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziyah juga mempunyai paham yang sama. Tetapi golongan al-Syu’aibiyah dan al-Hazimiyah menganut paham sebaliknya. Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menentang kehendak Allāh.

D.Sifat-sifat Khawa>rij
Khawa>rij mempunyai sifat-sifat yang telah Rasūlullāh saw. Sebutkan dalam ad>its-adi>ts beliau. Di antara sifat-sifatnya adalah:
1.    Suka mencelah dan mengnggap sesat
Sifat yang paling nampak dari khawa>rij adalah suka mencela terhadap para imam, menganggap mereka sesat, dan menghukumi mereka sebagai orang-orang yang telah keluar dari kebenaran dan keadilan. Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataannya : Wahai Rasūlullāh berlaku adil lah .[27]
Dzul Khuwai shirah telah menganggap dirinya lebih wara’ dari pada Rasūlullāh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghukumi Rasūlullāh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang curang dan tidak adil dalam pembagian. Sifat yang demikian ini selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai efek yang sangat buruk dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya. Berkata Ibnu Taimiyah tentang Khawa>rij : Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka berkenan dengan Aimmatul huda dan jama’ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat. Pendapat ini kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran.[28]


2.    Berprasangka Buruk
Ini adalah sifat Khawa>rij lainnya yang tampak dalam hukum Syaikh mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikhlas dengan berkata :
Artinya : Demi Allāh, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allāh .
Dzul Khuwaishirah ketika melihat Rasūlullāh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia tidak menerimanya dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.[29]
3.    Keras terhadap kaum Muslimin dan menghalalkan darah mereka
Sejarah telah mencatat dalam lembara-lembaran hitamnya mengenai perbuatan mereka, diantaranya kisah abdulla>h bin khabab yang mereka bunuh dengan kejam. Najdat menambah keyakinan khawa>rij dengan perkataan: “barang siapa yang tidak keluar bersama mereka dan memerangi kaum Muslimin, maka mereka kāfir walaupun dia berkeyakinan seperti keyakinan mereka. Amad Salam berkata: Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan darah orang-orang Muslim.[30]





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Khawa>rij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Alī bin Abī Tholib yang keluar dari barisan Alī dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan Aīi tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abī Sufyan tentang persengketaan khilafah, dan mempunyai kelompok-kelompok yang berbeda-bedah dalam pemahamannya.
2.      Peristiwa Tahkim yang justru merugikan pihak Alī, mengakibatkan banyak pengikut Alī telah ingkar yang kemudian hari disebut kaum Khawa>rij. Akhirnya Khawa>rij terpecah-pecah dalambeberap sub-sekte, di antaranya ialah:
a.       Al-Muhakkimah
b.      Al-Azariqah
c.       Al-Najdat
d.      Al-Ajaridah
e.       Al-Sufriyah
f.        Al-Ibadiyah.
3.      Khawa>rij mempunyai sifat-sifat yang telah Rasūlullāh saw. Sebutkan dalam adits-adits beliau. Di antara sifat-sifatnya adalah:
a.       Suka mencelah dan mengnggap sesat
b.      Berprasangka Buruk
c.       Keras terhadap kaum Muslimin dan menghalalkan darah mereka


DAFTAR PUSTAKA
Abu> Abdirrahman Ali, Syaikh. Sifat dan Karakteristik Ekstrimis Khawarij. maktabah raudah al-muhibbin, 2009.
Al-Najjar, Amir. Aliran Khawa>rij. Jakarta: Lentera, 1990.
Al-Syahratsani. Al-Milal Wa al-Nihal.  Jilid I. Kairo, 1951.
Andi Bastoni, Hepi. 101 Sahabat Nabī. Cet.VIII; Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar, 2010.
Anwar, Rosihan dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Farahidi, Khalil Amad. Kitâb al-‘Ain. jil. 15. Cet. II; Qum: Intisyarat-e Hijrat, 1410 H.
Mazandarani, Ghaffari, Amad bin ‘Ali Thabarsi dan  Nizhamuddin Amad. Ihtijâj. jil. 1. Cet. I; Teheran: Murtazawi, 1987.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. 2. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Nuha, Ulin. Dirasatu Firaq( Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam), Surakarta:Pustaka Arafah, 2003.
Patuhena, saleh dan susmihara. Sejarah islam klasik. Makassar-Sultan Alauddin: Alauddin press.cv. berkah utami, 2009.
Rasyad Salim, Muammad.  Diraasat fil adits an-Nabawy. Cet. I, 1406 H.
Tharihi, Fakhruddin. Majma’ al-Bahrain. jil. 5. Cet. III; Teheran: Kitab Purusyi Murtazawi, 1375.
Zhahir, Ihsan Ilahi :Tentang Syi'ah. Lahore-Pakistan: Idaarah Turjumaanil Qur-ān.


[1] Amīr al-Najjar,  Aliran Khawarij, (Jakarta: Lentera, 1990),  h. 8.
[2] Ibid., h. 10.
[3] Ibid., h. 26.
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, ), h. 59.
[5] Ulin Nuha, Dirasatu Firaq: Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam (Surakarta: Pustaka Arafah, 2003), h. 37.
[6] Ibid.,  
[7] Harun Nasution, teologi islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan (jakarta: Universitas Indonesia Press, 2011), h. 13.
[8]Arbitrase adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang atau kelompok yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjuk seseorang yang mereka perangi untuk ,menyelesaikan. sengkerta yang terjadi antara mereka, dan keputusan dari kedua pihak harus dipatuhi dan dijalankan, hakim
[9] prof.dr.h.m.saleh patuhena dan dra.susmihara, Sejarah islam klasik (Makassar.-alauddin press.cv. berkah utami, 2009), h. 144-117.
[10] Khalil Ahmad Farahidi, Kitâb al-‘Ain (Cet. II.  Jil. 15; Qum: Intisyarat-e Hijrat, 1410 H), h. 160.
[11] Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, (Cet III. jil. 5; Teheran: Murtazawi, 1375), h. 235.
[12] Istilah tahkim sama dengann arbitrase dan berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
[13] Amad bin ‘Alī Thabarsi dan Ghaffari Mazandarani, Nizhamuddin Amad, Ihtijâj, (Cet. I jil. 1; Teheran: Murtazaw, 1987), h. 229-230.
[14]  Hepi Andi Bastoni, 101 Sahabat Nabī, (Cet.VIII; Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar, 2010),  h. 181.
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan , h. 14.
[16] Ibid., h. 14.
[17] Muammad Rasyad Salim,  Diraasat fil adi>ts an-Nabawy (Jil. 9, Cet. I, 1406 H.), h. 22-23. Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitāb Minhajus  Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq. http://tarbiyah11uinjpr.blogspot.com/2012/06/makalah-khawarij-dan-pemikiran-kalamnya (kamis/Oktober/2012)
[18] Syaikh Abu> Abdirrahman Ali> bin Ali al-Furaidan, Sifat dan Karakteristik Ekstrimis Khawarij, maktabah raudah al-muhibbin,2009, h.26
[19] Al-Syahratsani,  Al-Milal Wa al-Nihal ( Jilid I. Kairo: 1951), h.  124.
[20] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, op. Cit., h. 19.
[21] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, op. Cit., h. 22-23.
[22] Ibid., h. 17.                 
[23] Al-Syahratsani,  Al-Milal Wa al-Nihal, op. Cit., h. 137
[24] Ibid., h. 137.
[25] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 16.
[26] Al-Syahratsani, Al-Milal Wa al-Nihal, op. Cit., h. 128.
[27] Ulin Nuha, Dirasatu Firaq (Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam), (Surakarta:Pustaka Arafah, 2003), h. 57

[28]Ibid ., h. 57.
[29] Ibid., h.  57-58.
[30] Ibid., h. 56-57.