Khawarij dan Sikapnya Terhadap
al-Sunnah
Revisi
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Menyelesaikan Semester V
pada Mata Kuliah Difa’
An al-Sunnah
Oleh:
BESSE SAHIDAWATI
30700110006
Dosen Pembimbing:
Abdul Gaffar, M.Th.I
Jurusan Tafsi>r H{adi>ts
prodi Ilmu H}adi>s
Fakultas Ushuluddin, Filsafat
dan Politik
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam di masa Nabī Muḥammad masih hidup sangatlah damai dan tenang. Setiap permasalahan
yang muncul di dalam tubuh kaum Muslim, maka dengan cepat para sahabat menanyakannya
langsung pada Nabī Muḥammad, sehingga dengan cepat pula
mendapatkan keputusan yang benar tanpa ada suatu rekayasa apapun sebab telah
disandarkan melalui wahyu, ijtihad dan permusyawaratan dengan para sahabat.
Namun setelah Nabī Muḥammad wafat, gejolak perselisihan
mulai terlihat jelas. Problematika yang dihadapi adalah masalah yang tak pernah
timbul di zaman nabi masih hidup dan cara penyelesaian masalahnya tidak
dijumpai dalam al-Qur’ān dan hadits. Sehingga
persoalan-persoalan tersebut tidak memiliki jawaban yang pas dari masing-masing
ummat. Dari tiap pandangan ummat memiliki jawaban sendiri-sendiri dan dari
situlah muncul perbedaan-perbedaan yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan
diantara ummat Islam. Sehingga Benar saja apa yang telah dikatakan Nabī tentang akan adanya perpecahan
diantara ummat Islam. Diriwayatkan bahwa dari Abdullāh bin ‘Amr berbunyi: “Kelak umatku akan mengalami apa yang
pernah dialami Bani Israil. Bani Israil terpecah belah menjadi 72 millah
(aliran), sedan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 millah, satu millah
lebih banyak (dari Bani Israil). Semuanya masuk neraka, kecuali satu.” Para
Sahabat bertanya, “Ya Rasūlullāh, siapakah millah yang satu itu?”
Nabī (saw) menjawab,”Aliran yang
mengikuti aku dan para sahabatku.”
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
munculnya perpecahan, antara lain, sebagaimana yang ditegaskan oleh Muḥammad ‘Abū Zahrah, adalah fanatisme Kearaban (al-‘ashabiyyah al-‘arabiyyah).
Sejak masa Nabī, fanatisme telah berhasil diredam melalui keterangan-keterangan
yang jelas tersebut hingga masa Khalifah Ketiga, ‘Us}man bin Affan.
Dari Islam yang terbagi-bagi dalam
beberapa sekte/firqoh/golongan tersebut, sangat menarik untuk dibahas. Dari
segi latar belakang sejarahnya maupun pokok-pokok ajarannya hingga sampai pada
respon-respon yang menyatakan penerimaan maupun penolakan pada sekte-sekte
tersebut. Dari bermacam-macam golongan dalam Islam, penulis mengambil dari
aliran Khawa>rij. Di sini penulis ingin menyampaikan beberapa rincian
inti pokok pembahasan yang terpenting, yakni mengenai Bagaimana latar
belakang kemunculan aliran Khawa>rij dan Bagaimana pandangan tentang dosa
besar menurut Khawa>rij. Beberapa kajian dari gerakan Khawa>rij
secara detail, sangatlah berguna untuk melihat kembali gerakan ini sebagai
suatu keseluruhan dan posisinya dalam perkembangan pemikiran Islam.
B. Rumusan masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan maka penulis memberi rumusan
masalah sebagai acuan dasar pembahasan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan khawa>rij?
2. Apa saja Ajaran-Ajaran
Pokok Khawa>rij dan Sekte-Sekte dan Ajarannya?
3. Apa saja sifat-sifat Khawa>rij yang telah Rasūlullāh saw.
Sebutkan dalam ḥadi>ts-ḥadi>ts beliau?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi al-Khawa>rij (الخوارج) Beserta Asal Usulnya
Secara etimologis khawa>rij berasal dari bahasa arab yaitu “kharaja” yang bentuk jamaknya dari kata kharij, yaitu isim fa'il dari kata kharaja yang berarti
keluar, Muncul, timbul dan memberontak,
hal itu disebabkan karena mereka keluar dari
barisan ‘Ali>.
Ditinjau dari sisi terminologis, dalam hal ini para ulama Berbeda pendapat:
1.
Ada yang memasukkan khawa>rij
secara umum sebagai satu sikap politik. Siapa yang keluar dari ketaatan kepada imam yang kepemimpinannya itu
dibenarkan menurut syar’i, kapan pun itu terjadi, maka ia termasuk khawa>rij.
Imam Asy-Syahrastaniy memberikan komentar: “Tiap-tiap orang yang keluar dari imam yang haq, yang
telah disepakati oleh jama’ah, maka ia dinamakan khawa>rij, baik itu
terjadi pada masa sahabat, yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat,
atau pada masa tabi’in serta Imam-iman pada setiap masa”
2.
Tetapi
ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat
100 surat An-Nisā’, yang artinya: “Keluar
dari rumah lari kepada Allāh dan Rasūl-Nya”. Dengan demikian, kaum Khawa>rij memandang diri
mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya
untuk mengabdikan diri kepada Allāh dan Rasūl-Nya
3.
Ada pula pendapa bahwa yang diamksud khawa>rij merupakan suatu sekte/ kelompok/
aliran yang menjadi pengikut ‘Alī bin Abī Tholib yang keluar dari barisan ‘Alī dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan
keputusan ‘Alī tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase,
dalam perang S{iffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok (pemberontak)
Muawwiyah bin Abi> Sufyan tentang
persengketaan khilafah.
Kelompok ini dikenal sebagai Māriqin, Khawa>rij dan Nahrawaniyun.
Mā-ra-q secara leksikal bermakna keluar
(membelok) sebagaimana disebutkan, "Yamruqu al-sahma min al-Ramiyya;
artinya anak panah keluar dari busurnya.
Mâriqin adalah orang-orang yang telah keluar
dan membelok dari agama Allāh dan memandang boleh berperang dengan khalifah Rasū
lullāh Saw. Dengan kata lain, seperti yang dijelaskan diatas bahwa sekelompok pengikut Imam ‘Alī
yang berpisah dari beliau pada
perang S}iffin lantaran penentangan mereka dengan beliau pada kasus tahkim. Mereka keluar dari jalan ketaatan kepada Amirulmukminin
‘Alī
bin Abī
Thalib. Atas dasar ini mereka
disebut sebagai Mâriqin.
Kemudian mereka menyebut diri mereka dengan sebutan
Syurah, yang berasal dari kata yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan
dalam 207 surat Al-Baqarah: “Ada manusia yang menjual
dirinya untuk memperoleh keridhaan Allāh”. Nama lain yang diberikan kepada
mereka adalah Haruriah, dari kata Harura, satu desa yang terletak di
dekat kota Kuffah, di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu
berjumlah duabelas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari ‘Alī. Disini mereka memilih Abdullāh bin Abī wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari ‘Alī bin Abī Tholib. Dalam pertempuran dengan ‘Alī, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya
seorang Khawa>rij bernama ‘Abdurrahman bin Muljam dapat membunuh ‘Alī.
Walaupun telah mengalami kekalahan, kaum Khawa>rij
menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam
resmi baik di zaman dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman dinasti Bani Abbas.
Pemegang-pemegang kekuasaan yang pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng
dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Awalnya, khalifah atau pemerintahan Abū Bakar dan Umār bin Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima.
Bahwa kedua khalufah ini diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi Uṡman bin Affan mereka anggap telah
menyeleweng dari mulai tahun ke- 7 dari masa khalifahnya. Dan ‘Alī juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase
sejak waktu itulah Uṡman dan ‘Alī bagi mereka telah menjadi ka>fir. Demikian
halnya dengan Mu’awiyyah, Amr bin As, Abū Musa al-Asy’ari
serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam
B.
Pandangan Khawa>rij terhadap as-Sunnah
Kaum Khawa>rij dengan berbagai
sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) iya itu perang saudara antara Ali bin Abi Thalib r.a. dan
Mu’awiyah r.a. H{adi>ts diterima oleh kelompok khawa>rij dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu
para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil. Tetapi setelah
itu h}adis-h}adis yang diriwayatkan oleh para sahabat ditolak oleh kelompok Khawa>rij dan mengingkari ‘Alī, ‘Us\man, & Shahabat dan tergolong al-as}ha>bu al-Jamāl, kedua hakim Arbitrasi
(yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka menerima keputusannya
& membenarkannya ataupun nan mengakui keputusan salah 1 dari kedua hakim
tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal nan diriwayatkan jumhur
setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tak adanya kesediaan
mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan menurut
anggapan Khawa>rij termasuk zhalim.
Karena itu Khawa>rij tak menganggap
para Sha-habat sebagi rawi tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muḥammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawa>rij menerima
Sunnah Nabī Shallallahu
'alaihi wa sallam & percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi
tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawa>rij
menolak As-Sunnah nan diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun
sebelumnya.
Tapi menurut Syaikh Abu> Abdirrahman Ali> bin Ali> al-Furaidan Mereka menolak
As-Sunnah jika tidak terdapat pendukungnya yang tercantum secara jelas (ekspisit) di
dalam al-Qur’a>n. Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah berkata: “Mereka tidak mengambil apapun dari As-Sunnah
kecuali apa yang dapat ditafsirkan secara umum, tidak termasuk nash-nash
yang bertentangan dengan apa yang
secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’a>n, menurut mereka. Sehingga
mereka tidak meyakini hukum rajam bagi pezina dan tidak juga meyakini
adanya jumlah minimun barang curian
sehingga (seseorang) disebut pencuri.” [Majmu al-Fatawa (13/48)]
C. Sekte-Sekte dan Ajarannya
Sekte-sekte yang ada di dalam Khawa>rij
antara lain:
1. Kelompok khawa>rij yang percaya pada seluruh apa yang diwahyukan
Allāh kepada Rasūl-Nya
·
Al-Najdat
Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan
pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan
al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan.
Sebagian dari pengikut- pengikut Nafi’ bin Azraq, diantaranya adalah Abū Fudaik,
Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang
Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.
Demikian pula mereka yang tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya
dibunuh anak istri orang- orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.
Abū Fudaik dengan
teman-teman serta pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yamamah.
Disini mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian paham
dengan Nafi’, sehingga Najdah dengan pengikut-pengikutnya membatalkan rencana
untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Pengikut Abū Fudaik dan
pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebagai imam baru. Nafi’ bin Azraq
tidak lagi diakui sebagai imam. Nafi’ telah mereka pandang ka>fir dan
demikian pula orang yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah berpendapat bahwa orang berdosa besar
yang menjadi ka>fir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak
sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul
akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di dalam neraka dan kemudian akan masuk
surga.
Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar,
kalu dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Seterusnya ia berpendapat bahwa yang
diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allāh dan
Rasu>l-rasūl-Nya, mengetahui haram membunuh
orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allāh kepada Rasūl-Nya. Orang
yang tak mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud orang-orang Islam
disini adalah pengikut-pengikut Najdah. Dalam hal-hal selain tersebut diatas,
orang Islam tidak diwajibkan mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang
haram dengan tidak tahu bahwa hal itu haram, ia dapat dimaafkan.
Dalam kalangan al-Khawa>rij,
golongan inilah yang membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak
menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut
pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk
perbuatan.
Tetapi tidak pula semua pengikut Najdah
setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran diatas, terutama paham bahwa dosa
besar tidak membuat pengikutnya menjadi kāfir, dan bahwa dosa kecil bisa
menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh
pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil
Najdah terhadap khalifah Abdul Ma>lik bin Marwan dari dinasti bani Umaiyyah.
Dala salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka
memperoleh harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya,
sebagai diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan,
harta dan tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut
diantara mereka sendiri. selanjutnya dalam serangan terhadap kota Madinah
mereka dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh Abdul
Ma>lik. Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui
pengikutnya, karena Abdul Malīk adalah musuh
mereka.
Dalam perpecahan ini Abū Fudaik,
Rasyid al-Tawil dan anak Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah
mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abū Fudaik dan
Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka
tangkap dan penggal lehernya.
2. Kelompok khawa>rij yang paling moderat.
·
Al-Ibadiyah
Namanya golongan diambil dari
Abdullāh bin Ibad,
yang apada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham
moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a. Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka
bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kāfir. Dengan
orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan
warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.
b.
Orang Islam
yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi
bukan mukmin dan bukan kāfir al-millah, yaitu
ka>fir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang
keluar dari Islam.
c.
Yang boleh
dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidaklah mengherankan kalau paham
moderat seperti di atas membuat Abdullāh bin Ibad tidak mau turut dengan
golongan al-Azariqah dalam melawan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia
mempunyai hubungan yang baik dengan khalifah Abdul Mālik bin
Marwan. Demikian pula halnya dengan Jabir bin Zaid al-Azdi, pemimpin
al-Ibadiyah sesudah Ibnu Ibad, mempunyai hubungan baik dengan al-Hajjaj, pada
waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya memerangi golongan-golongan Khawa>rij
yang berpaham dan bersikap ekstrim.
Oleh karena itu, jika golongan Khawa>rij
lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-Ibadiyah
ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan
Arabia Selatan.
·
Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar
serta kuat sesudah al-Muhakkimah hancur adalah golongan al-Azariqah. Daerah
kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari
Nafi’ bin Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu
orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri. Dan kepadanya
mereka beri gelar Amir al-Mukminin. Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak
pada tahun 686 M.
Golongan ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah.
Mereka tidak lagi memakai term ka>fir, tetapi term musyrik. Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak
sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan al-Azariqah tapi
tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan
kata lain, orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan
tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang musyrik. Dan barang siapa yang datang ke daerah mereka
dan mengakui al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji.
Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima
dengan baik. Tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri
yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut
nyawa tawanan itu, memberi keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan
sebenarnya bukan penganut paham al-Azariqah. Lebih lanjut lagi, bukan hanya
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri orang-orang yang
demikianpun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Menurut paham subsekte yang
ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang di
luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Mereka selalu
bertanya pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan
mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka
dibunuh.
3.
Kelompok
khawa>rij yang ekstrim
·
Al-Sufriyah
Pemimpin golongan ini ialah Ziyad
bin Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh
karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka
kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a.
Orang Sufriyah
yang tidak berhijrah tidak dipandang kāfir.
b.
Mereka tidak
berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.
Selanjutnya,
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi
musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa
yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina, dan dosa yang tak ada
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang
berbuat dosa golongan pertama tidak dianggap kāfir. Sedangkan
golongan yang kedua dianggap kāfir.
d.
Daerah
golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu
daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp
pemerintah, sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
Di samping
pendapat-pendapat diatas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi mereka:
a. Taqiyah hanya boleh
dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.
Tetapi
walaupun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin
dengan lelaki kafīr, di daerah bukan Islam.
·
Al-Muhakkimah
Golongan Khawa>rij asli dan terdiri dari
pengikut-pengikut ‘Alī. Menurut mereka, ‘Alī, Muawiyyah, kedua pengantara Amr
bin Ash dan Abū Musa al-Asy’ari dan semua orang
yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi ka>fir. Selanjutnya hukum kāfir ini mereka luaskan artinya, sehingga termasuk orang yang
berbuat dosa besar.
Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar,
maka menurut mereka orang yang berzina telah menjadi kāfir. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab
yang sah adalah dosa besar dan menjadi kāfir. Demikian seterusnya dengan
dosa-dosa besar yang lainnya.
·
Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karīm bin Ajrad
yang menurut al-Syahratsani merupakan salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih
lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban
sebagai diajarkan oleh Nafi’ bin Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan
kebajikan. Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah
kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu, harta yang
boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta yang telah mati terbunuh, sedang
menurut al-Azariqah seluruh harta musuh bolehb dijadikan rampasan
perang. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak
musyrik menurut orangtuanya.
Selanjutnya kaum Ajaridah ini
mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’ān membawa
cerita cinta dan al-Qur’ān sebagai kitab suci, kata mereka tidak
mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa
surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’ān.
Sebagai golongan Khawa>rij lain,
golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi golongan- golongan kecil.
Diantara mereka, yaitub golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariyah.
Bagi mereka, semua perbuatan manusia baik dan buruk, timbul dari kemauan dan
kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziyah juga mempunyai paham yang sama.
Tetapi golongan al-Syu’aibiyah dan al-Hazimiyah menganut paham sebaliknya. Bagi
mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
dapat menentang kehendak Allāh.
D.Sifat-sifat Khawa>rij
Khawa>rij mempunyai
sifat-sifat yang telah Rasūlullāh saw.
Sebutkan dalam ḥad>its-ḥadi>ts
beliau. Di antara sifat-sifatnya adalah:
1. Suka mencelah dan mengnggap sesat
Sifat yang
paling nampak dari khawa>rij adalah suka mencela terhadap para imam,
menganggap mereka sesat, dan menghukumi mereka sebagai orang-orang yang telah
keluar dari kebenaran dan keadilan. Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan perkataannya : Wahai Rasūlullāh berlaku ‘adil lah .
Dzul
Khuwai shirah
telah menganggap dirinya lebih wara’ dari pada Rasūlullāh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menghukumi Rasūlullāh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai orang yang curang dan tidak ‘adil dalam
pembagian. Sifat yang demikian ini selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu
mempunyai efek yang sangat buruk dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya.
Berkata Ibnu Taimiyah tentang Khawa>rij : Inti kesesatan mereka
adalah keyakinan mereka berkenan dengan Aimmatul huda dan jama’ah muslimin,
yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat. Pendapat ini
kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan
yang lainnya. Mereka mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke
dalam kekufuran.
2. Berprasangka Buruk
Ini
adalah sifat Khawa>rij lainnya yang tampak dalam hukum Syaikh mereka
Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak ikhlas dengan berkata :
Artinya
: Demi Allāh, sesungguhnya ini
adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah
Allāh .
Dzul Khuwaishirah
ketika melihat Rasū
lullāh Shallallahu
‘alaihi wa sallam membagi harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada
orang-orang miskin, ia tidak menerimanya dengan prasangka yang baik atas
pembagian tersebut.
3.
Keras terhadap kaum Muslimin dan menghalalkan darah mereka
Sejarah telah mencatat dalam lembara-lembaran hitamnya
mengenai perbuatan mereka, diantaranya kisah abdulla>h bin khabab yang
mereka bunuh dengan kejam. Najdat menambah keyakinan khawa>rij dengan
perkataan: “barang siapa yang tidak keluar bersama mereka dan memerangi kaum Muslimin,
maka mereka kāfir walaupun dia
berkeyakinan seperti keyakinan mereka. Aḥmad Salam berkata: Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan darah
orang-orang Muslim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Khawa>rij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut ‘Alī bin Abī Tholib yang keluar dari barisan ‘Alī dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan
keputusan ‘Aīi tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M,
dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin ‘Abī Sufyan tentang persengketaan khilafah, dan
mempunyai kelompok-kelompok yang berbeda-bedah dalam pemahamannya.
2. Peristiwa Tahkim yang justru
merugikan pihak Alī, mengakibatkan banyak pengikut ‘Alī telah ingkar yang kemudian hari disebut kaum Khawa>rij.
Akhirnya Khawa>rij
terpecah-pecah dalambeberap sub-sekte, di antaranya ialah:
a. Al-Muhakkimah
b. Al-Azariqah
c. Al-Najdat
d. Al-Ajaridah
e. Al-Sufriyah
f.
Al-Ibadiyah.
3.
Khawa>rij mempunyai
sifat-sifat yang telah Rasūlullāh saw.
Sebutkan dalam ḥadits-ḥadits beliau. Di antara
sifat-sifatnya adalah:
a.
Suka mencelah
dan mengnggap sesat
b.
Berprasangka
Buruk
c. Keras terhadap kaum Muslimin dan menghalalkan
darah mereka
DAFTAR PUSTAKA
Rasyad Salim, Muḥammad. Diraasat fil Ḥadits an-Nabawy. Cet. I, 1406 H.
Khalil Ahmad
Farahidi, Kitâb al-‘Ain (Cet. II. Jil. 15; Qum: Intisyarat-e
Hijrat, 1410 H), h. 160.
Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, (Cet III. jil. 5; Teheran: Murtazawi, 1375), h.
235.
Istilah tahkim sama dengann arbitrase dan berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa
Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan”.
Aḥmad bin ‘Alī Thabarsi dan Ghaffari
Mazandarani, Nizhamuddin Aḥmad, Ihtijâj, (Cet. I jil. 1;
Teheran: Murtazaw, 1987), h. 229-230.
Syaikh Abu> Abdirrahman Ali> bin Ali al-Furaidan, Sifat dan Karakteristik Ekstrimis Khawarij, maktabah
raudah al-muhibbin,2009, h.26